Topik Utama : Jamu Kuatseng Istimewa

Topik Utama : Jamu Kuatseng Istimewa

Selasa, 04 Desember 2007

Jawa Barat : Kelenteng Boen Tek Bio - Tangerang

Jamu kuatseng diproduksi di Tangerang, sehingga kemasannya tak lepas dari budaya Cina, sebab selain Empek Tongseng itu berasal dari etnis Cina, pada jaman itu di Tangerang juga terdapat banyak orang Cina yang mengungsi.
Berbicara tentang Kelenteng Boen Tek Bio tidak terlepas dari sejarah Kota Tangerang dan keberadaan orang Tionghoa di Tangerang.

Mengenai kedatangan orang Tionghoa pertama kali ke Tangerang belum diketahui secara pasti. Dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul "Tina Layang Parahyang" (Catatan dari Parahyangan) disebut tentang kedatangan orang Tionghoa ke daerah Tangerang. Kitab tersebut menceritakan tentang mendaratnya rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) di muara sungai Cisadane yang sekarang diberi nama Teluk Naga pada tahun 1407. pada waktu itu pusat pemerintahan ada di sekitar pusat kota sekarang, yang diperintah oleh Sanghyang Anggalarang selaku wakil dari Sanghyang Banyak Citra dari Kerajaan Parahyangan. Perahu rombongan Halung terdampat dan mengalami kerusakan juga kehabisan perbekalan. Daerah tujuan yang semula ingin dikunjungi adalah Jayakarta.


Boen Tek Bio - Tangerang (Budi Setiawan, 2001)

Rombongan Halung ini membawa tujuh kepala keluarga dan diantaranya terdapat sembilan orang gadis dan anak-anak kecil. Mereka kemudian menghadap Sanghyang Anggalarang untuk minta pertolongan. karena gadis-gadis yang ikut dalam rombongan itu cantik-cantik, para pegawai Anggalarang jatuh cinta dan akhirnya kesembilan gadis itu dipersuntingnya. Sebagai kompensasinya, rombongan Halung diberi sebidang tanah pantai utara Jawa di sebelah timur sungai Cisadane, yang sekarang disebut Kampung Teluk Naga.

Gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa pembantaian orang Tionghoa di Batavia tahun 1740. VOC yang berhasil memadamkan pemberontakan tersebut mengirimkan orang-orang Tionghoa ke daerah Tangerang untuk bertani. Belanda mendirikan pemukiman bagi orang Tionghoa berupa pondok-pondok yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama: Pondok Cabe, Pondok Jagung, Pondok Aren dsb. Disekitar Tegal Pasir (Kali Pasir) Belanda mendirikan perkampungan Tionghoa yang dikenal dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dan telah menjadi bagian dari Kota Tangerang. Daerah ini terletak di sebelah timur sungai Cisadane, daerah Pasar Lama sekarang.


Gotong Toapekong - 1976 (Budi Setiawan, 1976)


Gotong Toapekong - 1976 (Budi Setiawan, 1976)


Gotong Toapekong - 1976 (Budi Setiawan, 1976)

Berdirinya Kelenteng Boen Tek Bio diperkirakan sekitar tahun 1750. Para penghuni perkampungan Petak Sembilan secara gotong-royong mengumpulkan dana untuk mendirikan sebuah kelenteng yang diberi nama Boen Tek Bio. (Boen=Sastra Tek=Kebajikan Bio=Tempat Ibadah). Bio yang pertama berdiri diperkirakan masih sederhana sekali yaitu berupa tiang bambu dan beratap rumbia. Awal abad ke-19 setelah perdagangan di Tangerang meningkat, dan umat Boen Tek Bio semakin banyak, kelenteng ini lalu mengalami perubahan bentuk seperti yang bisa dilihat sekarang.

Sebagai tuan rumah kelenteng ini adalah Dewi Kwan Im. Selain Dewi Kwan Im di sebelah kiri dan kanan kelenteng ini juga dibangun tempat untuk Dewa-Dewa lain.


Gotong Toapekong - 2000 (Budi Setiawan, 2001)


Gotong Toapekong - 2000 (Budi Setiawan, 2001)


Gotong Toapekong - 2000 (Budi Setiawan, 2001)

Berbeda dengan kebanyakan kelenteng yang ada di Indonesia maupun yang ada di negri Tiongkok, Kelenteng Boen Tek Bio mempunyai satu tradisi yang sudah berlangsung selama ratusan tahun yaitu apa yang dikenal dengan nama Gotong Toapekong. Setiap 12 tahun sekali yaitu saat tahun Naga menurut kalendar Tionghoa, didalam Kota Tangerang berlangsung arak-arakan joli Ka Lam Ya, Kwan Tek Kun dan terakhir Joli Ema Kwan Im. Pesta tahun Naga ini dimeriahkan oleh pertunjukan Barongsai dan Wayang Potehi yang berhasi menyedot ribuan pengunjung.

Disamping acara gotong Toapekong, sejak tahun 1911 para umat Boen Tek Bio menyelenggarakan pesta Petjun yang diadakan di Kali Cisadane, yaitu perlombaan balap perahu naga. Perlombaan ini berlangsung sekitar bulan Mei-Juni saat musim kemarau dimana air sungai jernih dan tenang. Setelah peristiwa G-30 S/PKI, acara Petjun dilarang pemerintah.

http://www.kelenteng.com/modules/news/article.php?storyid=5

Senin, 03 Desember 2007

Jamu

Nama Jamu

Jamu adalah sebutan orang Jawa terhadap obat hasil ramuan tumbuh-tumbuhan asli dari alam yang tidak menggunakan bahan kimia sebagai aditif. Konotasi tradisonal selalu melekat pada Jamu sebab Jamu memang sudah dikenal lama sejak jaman nenek moyang sebelum farmakologi modern masuk ke Indonesia. Oleh karena itu, banyak resep racikan Jamu sudah berumur ratusan tahun dan digunakan secara turun temurun sampai saat ini.
Sebutan ini diperkenalkan pada publik oleh 'dukun' atau 'tabib', ahli pengobatan tradisional jaman dulu. Dari sinilah tradisi minum jamu memasyarakat. Dan sekarang, diperkirakan 80% penduduk Indonesia pernah menggunakan Jamu. Sebagaimana masyarakat barat mengenal susu, Jamu sangat popular bagi masyarakat Indonesia.

Sejarah Jamu

Tidak ada yang dapat memastikan sejak kapan tradisi meracik dan meminum jamu muncul. Tapi diyakini tradisi ini telah berjalan ratusan bahkan ribuan tahun. Tradisi meracik dan meminum jamu sudah membudaya pada periode kerajaan Hindu-Jawa. Hal ini dibuktikan dengan adanya Prasasti Madhawapura dari jaman Majapahit yang menyebut adanya profesi 'tukang meracik jamu' yang disebut Acaraki.
Tradisi tersebut terus dikembangkan di keraton Yogya dan Solo, yang kemudian menjadi referensi utama bagi hampir semua perusahaan jamu di Indonesia. Meski demikian, sampai permulaan abad XX tradisi tersebut masih menjadi sesuatu yang ekslusif, hanya dikerjakan oleh kalangan tertentu saja. Sampai akhirnya Tan Swan Nio dan Siem Tjiong Nio memassalkannya dengan mendirikan Djamoe Industrie en Chemicalien Handel "IBOE" Tjap 2 Njonja pada tahun 1910 di Surabaya. Sejak saat itu, sejarah jamu dimulai.

Bentuk Jamu

Ada beberapa bentuk formula jamu yang siap pakai. Bentuk bubuk/powder merupakan bentuk yang paling umum. Namun adanya perkembangan teknologi membuat bentuk Jamu tidak terkesan tradisonal lagi. Banyak produsen jamu yang sudah mencetaknya dalam bentuk, pil, kapsul, kaplet, maupun cair.

Perbedaan Jamu dengan Obat Modern

Perbedaan yang paling mencolok antara jamu dengan obat modern terletak dari bahan pembuatnya. Jamu menggunakan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang langsung diambil dari alam. Sedangkan Obat moderen dihasilkan dari senyawa bahan-bahan kimia sintetis. Oleh karena itu, tingkat efek samping jamu relatif sangat minim dibanding dengan obat modern. Jamu merupakan obat alami yang bebas efek samping.

Jamu di Negara Lain

Pada dasarnya, setiap negara atau wilayah mempunyai tradisi yang serupa dengan tradisi Jamu di Indonesia. Ramuan kesehatan tradisonal dari Negara India, Cina, atau Arab telah terkenal sejak dulu. Tradisi ini juga sudah berlangsung sejak lama. Namun 'Jamu' Indonesia mempunyai keistimewaan tersendiri. Ramuan 'Jamu' Indonesia sangat variatif dan bahan bakunya berkualitas sangat baik. Indonesia merupakan tempat yang sangat subur untuk hidupnya berbagai macam jenis dan varietas tanaman obat-obatan. Banyak tanaman langka untuk keperluan obat-obatan yang tumbuh subur di Indonesia.


Minggu, 02 Desember 2007

TEKNOLOGI BARU MAJUKAN JAMU

Indonesia cukup kaya tanaman berkhasiat. Sayangnya, belum satu pun terkenal di dunia. Namun bukannya tak mungkin, di masa mendatang salah satu tanaman obat kita menjadi “bintang dunia”. Perjalanan ke arah sana sudah dimulai dengan didirikannya pusat ekstraksi tanaman obat terbesar di Asia Tenggara oleh PT Indonesia Farma (persero).

Ketika sadar obat-obatan farmasi (Barat) selain ampuh menyembuhkan penyakit juga memberikan dampak sampingan, banyak orang beralih ke obat-obatan tradisional berbahan utama tanaman (herbal medicine). Tak sedikit dari mereka tergolong orang kelas atas atau berpendidikan tinggi.

Bagi mereka obat nabati, yang populer dengan sebutan jamu (tunggal atau campuran), memberi harapan kesembuhan tanpa atau dengan sedikit dampak ikutan. Bagi pengusaha, obat nabati pun menjadi komoditas yang mulai dilirik. Fenomena ini terjadi tidak cuma di Indonesia, tetapi di berbagai negara di dunia, termasuk negara maju. Makanya jangan heran, bila saat ini banyak sekali ditemukan obat nabati, buatan dalam negeri maupun impor dengan kemasan istimewa.

Idamkan tanaman unggulan

Dilihat dari sumber daya alam, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati kedua terbesar setelah Brazil. Sayangnya, tak satu pun tanaman obat yang dimiliki bisa menjadi kebanggaan Indonesia. Sekadar perbandingan, coba kita tengok negara-negara Eropa, Korea Selatan, Cina, atau Jepang.

Eropa terkenal dengan Ginkgo biloba-nya, walaupun tanaman ini mereka “colong” dari Cina. Korea Selatan kini terkenal dengan Korean Ginseng (Panax ginseng)-nya. Cina dengan jamur Ling Zhi (Ganoderma lucidum). Dan Jepang dengan jamur Maetake (Grifola frondosa)-nya.

Dari sisi bisnis, herbal product juga menjanjikan. Di AS saja perputarannya mencapai AS $ 11 miliar/tahun. Sementara di Jerman mencapai DM 5 miliar/tahun.

“Indonesia yang mempunyai megabiodiversity, kok tidak satu pun tanaman obat nongol. Nah, kami mengarahkan rencana kerja kami di sini untuk memunculkan suatu tanaman (obat) tertentu," ungkap Dr. James M. Sinambela, Apt, Traditional Medicines Manager PT Indonesia Farma (persero), lazim dikenal sebagai Indofarma.

Untuk mengarah ke sana beberapa tahap mesti ditapaki. Tahapan pertama adalah melakukan rasionalisasi formula jamu. Berikutnya standarisasi proses, sebelum akhirnya mencapai standarisasi kimia.

Pada jamu tradisional berbentuk serbuk atau rajangan, formulanya terdiri atas 10 – 15 jenis tanaman. Bahkan, pada obat Cina bisa sampai 20 jenis tanaman.

“Karena kami ini orang-orang farmasi, maka kami mencoba merasionalisasikan formula. Ini dilakukan karena komposisi jamu yang berisi banyak jenis tanaman ini mengandung banyak bahan untuk memperbaiki aroma atau rasa (korigensia). Dari banyak jenis tanaman tadi dipilih yang hanya memiliki aktivitas yang diharapkan,” jelasnya.

Supaya mudah diperbanyak

Memang ada sedikit pertentangan. Dalam filosofinya, jamu dibuat untuk berkhasiat secara bersama-sama. “Tapi kami melihat dari kacamata farmasi. Kami mau menuju ke arah standarisasi. Kalau misalnya jamu terdiri atas 10 tanaman, standarisasinya menjadi sangat sulit,” tambahnya.

Sebagai gambaran, produsen herbal product di Eropa juga mencoba melakukan rasionalisasi. Malah kecenderungan produsen di dunia adalah memasarkan atau memformulasi obat herbal tunggal, misalnya Ginkgo biloba atau ginseng saja. Mengapa? Karena reproducebility (perbanyakan), kontrol kualitasnya maupun standarisasi prosesnya menjadi lebih mudah. Misalnya, dalam satu formula hanya terdiri atas 3 atau 4 tanaman, reproducibility produknya akan lebih bisa kita kontrol.

Untuk melakukan rasionalisasi, terlebih dulu dilakukan desk literature research. Misalnya, untuk jamu pelangsing, setiap jenis jamu pelangsing selalu mengandung jati belanda (Guazuma ulmifolia). Dari data itu bisa disimpulkan komponen utama pelangsing adalah jati belanda.

Contoh lainnya, penghancur batu ginjal mesti ada kumis kucing (Othosiphon stamineus), tempuyung (Sonchus arvensis), kejibeling (Strobilaanthes crispus), atau alang-alang (Imperata cylindrica). Tanaman-tanaman tersebut memang mengandung bahan deuretik dan senyawa yang dapat bersenyawa dengan mineral kalsium, mineral utama batu ginjal. Jadi, tanaman-tanaman itulah yang punya aktivitas “penghancuran” batu ginjal. Sementara, jenis tanaman lain kita anggap sebagai korigensia. Karena itu, dalam rasionalisasi, tanaman-tanaman dengan aktivitas tertentu saja yang dipilih.

Dari rasionalisasi, langkah berikutnya standarisasi proses. Standarisasi, yang perancangannya dilakukan oleh dua orang doktor di bidang farmasi alumnus Jerman, ini sangat perlu untuk membuat sediaan-sediaan yang dapat diperbanyak.

Dalam standarisasi ini satuan yang digunakan total solid, yakni perbandingan ekstrak yang tidak bisa menguap lagi (kering) dengan bobot asal. Kalau dalam total solid ini terkandung suatu khasiat dan total solid dibikin konstan, maka khasiatnya akan sama. Misalnya, dalam sekian gram kaplet terdapat sekian gram ektrak tanaman x, sekian gram ekstrak tanaman y, sekian gram ekstrak tanaman z, dan sekian gram bahan lainnya.

Tahapan berikutnya setelah standarisasi proses tercapai adalah mencari senyawa tertentu yang bisa diukur. Tujuan mencapai stadarisasi kimia. Kunyit misalnya. Yang dipakai nantinya kunyit dengan persentase curcuminoid tertentu. Jadi, tidak lagi total solidnya, tetapi bahan yang dikandung. Nantinya, dalam produk yang ditetapkan adalah banyaknya curcuminoid. Misalnya, dalam sekian gram kapsul terdapat sekian miligram curcuminoid, dst.

Sementara standarisasi kimia belum tercapai, obat nabati sudah menunjukkan tanda-tanda “naik gengsi”. Tuntutan kualitas pun meningkat. Tidak cuma kemasannya dituntut lebih bagus, tetapi juga mesti lebih higienis dan praktis. Berbeda dengan jamu berwujud serbuk atau “tablet” tradisional, yang teknologi pembuatannya cukup sederhana. Pada obat nabati berwujud tablet modern, kapsul atau soft capsul, bahan mentah tanaman obat mesti melalui proses ekstraksi. Di sinilah teknologi pembuatan obat nabati atau jamu diperlukan Dari proses ekstraksi ini diperoleh ekstrak, yakni bahan-bahan yang diinginkan dari suatu tanaman. Bagian yang tidak diperlukan tidak lagi ikut nimbrung dalam sebutir obat nabati yang kita telan. “Limbah” ini bisa dibuang, atau dijadikan bahan kompos.

Hemat tenaga kerja

Proses ekstraksi ini memang sudah sejak lama dilakukan perusahaan penghasil jamu. Namun, teknologinya masih belum maju sehingga kurang efisien dan hasilnya kurang optimal. Masih dalam konteks mengejar cita-cita menemukan tanaman unggul, ketertinggalan itu kini juga mulai berkurang dengan hadirnya Extraction Center milik Indofarma. Jantungnya adalah instalasi ekstraksi tanaman obat.

Memang, di balik pendirian pusat ekstraksi tanaman obat yang diresmikan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN, Rozy Munir pada 17 Juli 2000, tersimpan obsesi positif untuk pengembangan jamu di tanah air.

Dalam kompleks produksi Indofarma, yang berada di Cibitung (+ 35 km timur Jakarta), pusat ekstraksi terletak paling belakang dan dilengkapi dengan kebun percontohan tanaman obat. Luas bangunannya sekitar 4.000 m2. Dari luas itu, sekitar 12,5%-nya atau sekitar 500 m2 merupakan ruang kerja instalasi ekstraksi.

Teknologi instalasi ini berasal dari Jerman, negara yang sudah amat terkenal dalam bidang ekstraksi tanaman obat. Menurut Drs. Herizal Busnamy, Pharm., Senior Product Manager Indofarama, instalasi ekstraksi milik Indofarma merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.

“Dengan teknologi baru, sampai saat ini belum ada (perusahaan lain) yang memiliki instalasi ekstraksi khusus seperti ini, selain Indofarma. Dengan instalasi ini nanti kami akan bisa mengekspor (hasilnya) ke mancanegara. Kalau ada yang pesan kumis kucing misalnya, kami akan buatkan ekstrak yang sudah distandarisir,” tambahnya.

Sistemnya sudah terintegrasi, sehingga pengoperasiannya tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Dalam satu shift cuma memerlukan lima orang operator. Pekerjaan fisik cuma terjadi pada saat menuang bahan. Pengoperasiannya di bawah supervisi seorang apoteker.

Masih ekstraksi total

Instalasi ekstraksi terbagi atas empat bagian utama, yakni dua unit ekstraktor, dua unit evaporator, satu unit aroma recovery, dan satu unit retrifikasi. Kapasitas ekstraktornya masing-masing 2.000 l. Namun, sampai saat ini yang dilakukan baru sampai sekitar 50% dari kapasitas produksi.

“Kami bisa mengolah sampai sekitar 140 ton bahan kering tanaman obat per tahun,” jelas James.

Di unit ekstraktor, tanaman obat dari petani binaan, yang telah mengalami penyeleksian, penyucian, pengeringan, dan penggilingan, diekstraksi. Secara sederhana prosesnya kira-kira seperti ketika membuat minuman kopi. Serbuk kopi disedu dengan air panas dan diaduk di dalam cangkir. Ampas akan mengendap dan air kopi berada di atasnya. Air kopi ini yang dinamakan ekstrak. Sementara pada ektraktor serbuk halus tanaman obat dimasukkan ke dalam tabung ekstraktor. Lalu, dicampur dengan pelarut tertentu dalam tabung ekstraktor. Ekstraknya dialirkan ke evaporator dan ampas dari campuran itu diangkat.

Menurut James, yang dilakukan di sini adalah ekstraksi total. Artinya, semua senyawa, yang bisa diikat dengan pelarut tertentu, ditarik. Misalnya, ekstraksi dengan alkohol, maka semua senyawa yang terikat oleh alkohol akan tertarik.

“Dalam konsep kami sebagai produsen herbal product, proses ekstraksi dimaksudkan untuk memperoleh ekstrak di mana zat yang diduga memberi khasiat mencapai kadar optimal, ” ujarnya. “Hasil ekstraksi total bisa dipisahkan lagi melalui ekstraksi parsial untuk memperoleh senyawa tertentu saja. Ekstraksi parsial ini dilakukan tergantung pada kebutuhan. Namun, saat ini tahapan kami masih pada ekstraksi total,” tambahnya.

Pelarutnya bisa digunakan lagi

Pelarut yang digunakan dipilih secara selektif. “Ambillah contoh proses ekstraksi kumis kucing. Karena (senyawa) yang berkhasiat sebagai diuretik larut dalam air, maka pelarut yang digunakan adalah pelarut air. Sementara kunyit (Curcuma domestica) atau temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.) zat warna kuning dan minyak atsirinya larut dalam pelarut organik, maka digunakan pelarut organik seperti alkohol (dengan persentasi tertentu yang menjadi rahasia perusahaan),” jelas apoteker yang memperoleh gelar doktor dari Jerman ini.

Ekstrak tanaman obat yang diperoleh, dialirkan ke instalasi evaporator. Di sini, ekstrak diuapkan sehingga diperoleh ekstrak lebih pekat. Ekstrak tidak langsung diangkat. Pada proses ini sebagian aroma ekstrak ikut terbawa kondensat (uap air atau uap alkohol), sehingga aroma ekstrak kentalnya berkurang banyak. Untuk mengembalikan aroma, kondensat dilewatkan pada unit aroma recovery untuk ditarik kembali aromanya. Aroma ini kemudian dipulangkan kembali pada asalnya, sehingga aroma ekstraknya kembali seperti sebelum diuapkan. Hasil akhir inilah yang diangkat dan kemudian menjadi bahan baku obat herbal.

Di unit retrifikasi, kondensat yang sudah tidak mengandung aroma tanaman dimurnikan kembali sehingga bisa dihasilkan kembali pelarut semula. Kalau pelarutnya alkohol, maka larutan inilah yang dihasilkan dalam retrifikasi.

“Ini merupakan bentuk pekerjaan yang efisien sekali. Kalau tidak ada unit aroma recovery dan retrifikasi, pelarut untuk mengekstraksi bahan tertentu tidak bisa digunakan utuk pelarut bahan lainnya, karena setiap bahan memiliki aroma khas tersendiri. Di sini juga terjadi penghematan biaya produksi, karena kami tidak usah membeli kembali pelarut yang diperlukan,” tutur James.

Rangkaian proses tadi, dari ekstraksi hingga retrifikasi, membutuhkan waktu sekitar 9 jam, tergantung banyaknya bahan yang diolah. Yang terlama adalah proses evaporasi (penguapan ekstrak), yakni 3 – 4 jam. Karena itu, proses ini merupakan botle neck dari keseluruhan proses.

Sampai saat ini hasil ekstraksi sepenuhnya dijadikan bahan baku obat herbal produksi Indofarma. Menurut James, ke depan, produksi ekstrak diharapkan bisa dijual, meskipun sekarang juga sudah banyak yang berminat.

“(Dengan kehadiran pusat ekstraksi) kami berharap pengembangan jamu Indonesia menjadi lebih baik. Karena kalau kita lihat herbal suplement atau food supplement yang ada, semuanya dalam bentuk ekstrak. Keuntungannya, formulasinya akan lebih baik, baik dalam bentuk kapsul atau kaplet. Reproducebility (perbanyakan)-nya juga lebih baik.”

Pasarnya ada, teknologinya pun tersedia, kini kita boleh serius berharap kemajuan industri jamu akhirnya bakal memunculkan juga satu-dua tanaman unggulan Indonesia. (Gde)

Sekilas Tentang Jamu

Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari Indonesia. Belakangan populer dengan sebutan herba atau herbal.

Jamu dibuat dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti rimpang (akar-akaran), daun-daunan dan kulit batang, buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya.

Jamu biasanya terasa pahit sehingga perlu ditambah madu sebagai pemanis agar rasanya lebih dapat ditoleransi peminumnya.

Di berbagai kota besar terdapat profesi penjual jamu gendong yang berkeliling menjajakan jamu sebagai minuman yang sehat dan menyegarkan. Selain itu jamu juga diproduksi di pabrik-pabrik jamu oleh perusahaan besar seperti Jamu Air Mancur, Nyonya Meneer atau Djamu Djago, dan dijual di berbagai toko obat dalam kemasan sachet. Jamu seperti ini harus dilarutkan dalam air panas terlebih dahulu sebelum diminum. Pada perkembangan selanjutnya jamu juga dijual dalam bentuk tablet, kaplet dan kapsul.

Bagan Tahap Pembuatan Jamu

Sejarah Jamu

Jamu sudah dikenal sudah berabad-abad di Indonesia yang mana pertama kali jamu dikenal dalam lingkungan Istana atau keraton yaitu Kesultanan di Djogjakarta dan Kasunanan di Surakarta.

Jaman dahulu resep jamu hanya dikenal dikalangan keraton dan tidak diperbolehkan keluar dari keraton. Tetapi seiring dengan perkembangan jaman, orang-orang lingkungan keraton sendiri yang sudah modern, mereka mulai mengajarkan meracik jamu kepada masyarakat diluar keraton sehingga jamu berkembang sampai saat ini tidak saja hanya di Indonesia tetapi sampai ke luar negeri.

Bagi masyarakat Indonesia, Jamu adalah resep turun temurun dari leluhurnya agar dapat dipertahankan dan dikembangkan.

Bahan-bahan jamu sendiri diambil dari tumbuh-tumbuhan yang ada di Indonesia baik itu dari akar, daun, buah, bunga, maupun kulit kayu.

Sejak dahulu kala, Indonesia telah dikenal akan kekayaannya, tanah yang subur dengan hamparan bermacam-macam tumbuhan yang luas.

Tanah yang subur dengan kekayaan tanaman sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia karena mereka bergantung dari alam dalam usahanya untuk memenuhi bermacam-macam kebutuhan. Pengolahan tanah, pemungutan hasil panen, proses alam tidak hanya menghasilkan makanan, tetapi juga berbagai produk yang berguna untuk perawatan kesehatan dan kecantikan.

Leluhur kita menggunakan resep yang terbuat dari daun, akar dan umbi-umbian untuk mendapatkan kesehatan dan menyembuhkan berbagai penyakit, serta persiapan-persiapan lain yang menyediakan perawatan kecantikan muka dan tubuh yang lengkap. Campuran tanaman obat traditional ini di kenal sebagai JAMU. Dimana Indonesia dikenal sebagai Negara nomor 2 dengan tanaman obat tradisional setelah Brazilia

Rabu, 03 Oktober 2007

Jamu Nomor 5...

SEBUT saja Jamu Nomor 5. Pengecer, agen, atau distributor di Cilacap, Jawa Tengah, sudah mafhum bahwa yang dimaksud adalah jamu khusus untuk laki-laki.

Perajin jamu di Cilacap memang menggunakan kode nomor 5 untuk jamu yang peruntukannya bikin laki-laki makin perkasa dalam perkara ranjang. Nomor 5 sudah semacam nama generik seperti nomor 2, misalnya, untuk rematik. Nama paten dengan begitu bisa macam-macam.

Sebagai salah satu pusat penghasil jamu tradisional di Jawa Tengah dengan 600-an merek-sebagaimana jumlah perajin atau pengusaha yang terdaftar-di Koperasi Jamu Jawa Aneka Sari dari Cilacap bisa ditemukan puluhan nama paten bagi urusan keperkasaan itu. Bilang beberapa saja: Machoman, Perkasa Super, Pro Stamin, Raga Vit 12, dan Stutman. Kemasannya beragam. Ini biasa. Yang enggak biasa, komponen peramunya dari satu paten ke paten lain bisa pula beraneka. Padahal, khasiat yang diiming-iminginya sama. Oh, mysterium fascinatum!

"Wah, ini yang saya cari," kata seorang laki-laki berumur 45 tahun di satu bilangan di Cilacap. "Yang ini sudah pasti bikin greng."

Tiga kawannya mengomentari kehebatan beberapa bungkus jamu merek Machoman dan Stutman yang dibuat seorang perajin di Kecamatan Kroya, Cilacap. Entah dari mana mereka mendapatkannya karena kedua merek jamu itu konon sudah tidak diproduksi lagi. Yang menarik, daya pugar Machoman dan Stutman ini sudah dimulai sejak di kemasan. Sampulnya bergambar perempuan telanjang.

Menurut keterangan sejumlah pengecer dan agen, jamu kuat laki-laki adalah produk jamu yang kini paling banyak dicari. Jadi, mestinya paling laris juga.

Di urutan kedua adalah jamu nomor 1. Khasiatnya disebut-sebut bikin gemuk. Peringkat ketiga diraih jamu nomor 2, ya itu tadi, untuk rematik. Masalahnya, belakangan ini si nomor 5 sulit dicari. Apa pasal? Lantaran penarikan makanan suplemen Australia?

Tunggu dulu. Jauh sebelum sebutan suplemen didengung-dengungkan, konsumsi jamu sudah lama mentradisi di Pulau Jawa. Harga jamu yang relatif murah membuat kedatangan makanan suplemen mahal dari luar negeri itu menciptakan stratifikasi kelas sosial di sektor ini: jamu untuk kelas bawah, suplemen untuk kelas menengah ke atas.

Kembali pada kelangkaan si nomor 5. Seorang pedagang jamu di Kota Sampang, Cilacap, menyebutkan, "Mungkin karena pemasarannya sekarang ini lebih banyak justru ke luar Jawa."

Akan tetapi, ada faktor lain. Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam empat tahun terakhir mengumumkan bahwa berbagai jenis jamu dicampuri obat keras. Salah satu yang ditemukan adalah jamu "Sehat Laki-laki" yang, menurut temuan Badan POM, dicampur dengan antalgin. Entah apa kaitan antalgin dengan keperkasaan.

Dokter Paulus Ghozali dari Rumah Sakit Umum Margono Soekardjo, Purwokerto, menyebutkan, "Kalau ada orang yang mengatakan setelah minum jamu kuat laki-laki dan dalam waktu relatif pendek kejantanannya berjolak, itu bukan lantaran jamu. Itu hanya sugesti." (NTS)

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/11/Fokus/304359.htm