Topik Utama : Jamu Kuatseng Istimewa

Topik Utama : Jamu Kuatseng Istimewa

Minggu, 02 Desember 2007

TEKNOLOGI BARU MAJUKAN JAMU

Indonesia cukup kaya tanaman berkhasiat. Sayangnya, belum satu pun terkenal di dunia. Namun bukannya tak mungkin, di masa mendatang salah satu tanaman obat kita menjadi “bintang dunia”. Perjalanan ke arah sana sudah dimulai dengan didirikannya pusat ekstraksi tanaman obat terbesar di Asia Tenggara oleh PT Indonesia Farma (persero).

Ketika sadar obat-obatan farmasi (Barat) selain ampuh menyembuhkan penyakit juga memberikan dampak sampingan, banyak orang beralih ke obat-obatan tradisional berbahan utama tanaman (herbal medicine). Tak sedikit dari mereka tergolong orang kelas atas atau berpendidikan tinggi.

Bagi mereka obat nabati, yang populer dengan sebutan jamu (tunggal atau campuran), memberi harapan kesembuhan tanpa atau dengan sedikit dampak ikutan. Bagi pengusaha, obat nabati pun menjadi komoditas yang mulai dilirik. Fenomena ini terjadi tidak cuma di Indonesia, tetapi di berbagai negara di dunia, termasuk negara maju. Makanya jangan heran, bila saat ini banyak sekali ditemukan obat nabati, buatan dalam negeri maupun impor dengan kemasan istimewa.

Idamkan tanaman unggulan

Dilihat dari sumber daya alam, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati kedua terbesar setelah Brazil. Sayangnya, tak satu pun tanaman obat yang dimiliki bisa menjadi kebanggaan Indonesia. Sekadar perbandingan, coba kita tengok negara-negara Eropa, Korea Selatan, Cina, atau Jepang.

Eropa terkenal dengan Ginkgo biloba-nya, walaupun tanaman ini mereka “colong” dari Cina. Korea Selatan kini terkenal dengan Korean Ginseng (Panax ginseng)-nya. Cina dengan jamur Ling Zhi (Ganoderma lucidum). Dan Jepang dengan jamur Maetake (Grifola frondosa)-nya.

Dari sisi bisnis, herbal product juga menjanjikan. Di AS saja perputarannya mencapai AS $ 11 miliar/tahun. Sementara di Jerman mencapai DM 5 miliar/tahun.

“Indonesia yang mempunyai megabiodiversity, kok tidak satu pun tanaman obat nongol. Nah, kami mengarahkan rencana kerja kami di sini untuk memunculkan suatu tanaman (obat) tertentu," ungkap Dr. James M. Sinambela, Apt, Traditional Medicines Manager PT Indonesia Farma (persero), lazim dikenal sebagai Indofarma.

Untuk mengarah ke sana beberapa tahap mesti ditapaki. Tahapan pertama adalah melakukan rasionalisasi formula jamu. Berikutnya standarisasi proses, sebelum akhirnya mencapai standarisasi kimia.

Pada jamu tradisional berbentuk serbuk atau rajangan, formulanya terdiri atas 10 – 15 jenis tanaman. Bahkan, pada obat Cina bisa sampai 20 jenis tanaman.

“Karena kami ini orang-orang farmasi, maka kami mencoba merasionalisasikan formula. Ini dilakukan karena komposisi jamu yang berisi banyak jenis tanaman ini mengandung banyak bahan untuk memperbaiki aroma atau rasa (korigensia). Dari banyak jenis tanaman tadi dipilih yang hanya memiliki aktivitas yang diharapkan,” jelasnya.

Supaya mudah diperbanyak

Memang ada sedikit pertentangan. Dalam filosofinya, jamu dibuat untuk berkhasiat secara bersama-sama. “Tapi kami melihat dari kacamata farmasi. Kami mau menuju ke arah standarisasi. Kalau misalnya jamu terdiri atas 10 tanaman, standarisasinya menjadi sangat sulit,” tambahnya.

Sebagai gambaran, produsen herbal product di Eropa juga mencoba melakukan rasionalisasi. Malah kecenderungan produsen di dunia adalah memasarkan atau memformulasi obat herbal tunggal, misalnya Ginkgo biloba atau ginseng saja. Mengapa? Karena reproducebility (perbanyakan), kontrol kualitasnya maupun standarisasi prosesnya menjadi lebih mudah. Misalnya, dalam satu formula hanya terdiri atas 3 atau 4 tanaman, reproducibility produknya akan lebih bisa kita kontrol.

Untuk melakukan rasionalisasi, terlebih dulu dilakukan desk literature research. Misalnya, untuk jamu pelangsing, setiap jenis jamu pelangsing selalu mengandung jati belanda (Guazuma ulmifolia). Dari data itu bisa disimpulkan komponen utama pelangsing adalah jati belanda.

Contoh lainnya, penghancur batu ginjal mesti ada kumis kucing (Othosiphon stamineus), tempuyung (Sonchus arvensis), kejibeling (Strobilaanthes crispus), atau alang-alang (Imperata cylindrica). Tanaman-tanaman tersebut memang mengandung bahan deuretik dan senyawa yang dapat bersenyawa dengan mineral kalsium, mineral utama batu ginjal. Jadi, tanaman-tanaman itulah yang punya aktivitas “penghancuran” batu ginjal. Sementara, jenis tanaman lain kita anggap sebagai korigensia. Karena itu, dalam rasionalisasi, tanaman-tanaman dengan aktivitas tertentu saja yang dipilih.

Dari rasionalisasi, langkah berikutnya standarisasi proses. Standarisasi, yang perancangannya dilakukan oleh dua orang doktor di bidang farmasi alumnus Jerman, ini sangat perlu untuk membuat sediaan-sediaan yang dapat diperbanyak.

Dalam standarisasi ini satuan yang digunakan total solid, yakni perbandingan ekstrak yang tidak bisa menguap lagi (kering) dengan bobot asal. Kalau dalam total solid ini terkandung suatu khasiat dan total solid dibikin konstan, maka khasiatnya akan sama. Misalnya, dalam sekian gram kaplet terdapat sekian gram ektrak tanaman x, sekian gram ekstrak tanaman y, sekian gram ekstrak tanaman z, dan sekian gram bahan lainnya.

Tahapan berikutnya setelah standarisasi proses tercapai adalah mencari senyawa tertentu yang bisa diukur. Tujuan mencapai stadarisasi kimia. Kunyit misalnya. Yang dipakai nantinya kunyit dengan persentase curcuminoid tertentu. Jadi, tidak lagi total solidnya, tetapi bahan yang dikandung. Nantinya, dalam produk yang ditetapkan adalah banyaknya curcuminoid. Misalnya, dalam sekian gram kapsul terdapat sekian miligram curcuminoid, dst.

Sementara standarisasi kimia belum tercapai, obat nabati sudah menunjukkan tanda-tanda “naik gengsi”. Tuntutan kualitas pun meningkat. Tidak cuma kemasannya dituntut lebih bagus, tetapi juga mesti lebih higienis dan praktis. Berbeda dengan jamu berwujud serbuk atau “tablet” tradisional, yang teknologi pembuatannya cukup sederhana. Pada obat nabati berwujud tablet modern, kapsul atau soft capsul, bahan mentah tanaman obat mesti melalui proses ekstraksi. Di sinilah teknologi pembuatan obat nabati atau jamu diperlukan Dari proses ekstraksi ini diperoleh ekstrak, yakni bahan-bahan yang diinginkan dari suatu tanaman. Bagian yang tidak diperlukan tidak lagi ikut nimbrung dalam sebutir obat nabati yang kita telan. “Limbah” ini bisa dibuang, atau dijadikan bahan kompos.

Hemat tenaga kerja

Proses ekstraksi ini memang sudah sejak lama dilakukan perusahaan penghasil jamu. Namun, teknologinya masih belum maju sehingga kurang efisien dan hasilnya kurang optimal. Masih dalam konteks mengejar cita-cita menemukan tanaman unggul, ketertinggalan itu kini juga mulai berkurang dengan hadirnya Extraction Center milik Indofarma. Jantungnya adalah instalasi ekstraksi tanaman obat.

Memang, di balik pendirian pusat ekstraksi tanaman obat yang diresmikan Menteri Negara Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN, Rozy Munir pada 17 Juli 2000, tersimpan obsesi positif untuk pengembangan jamu di tanah air.

Dalam kompleks produksi Indofarma, yang berada di Cibitung (+ 35 km timur Jakarta), pusat ekstraksi terletak paling belakang dan dilengkapi dengan kebun percontohan tanaman obat. Luas bangunannya sekitar 4.000 m2. Dari luas itu, sekitar 12,5%-nya atau sekitar 500 m2 merupakan ruang kerja instalasi ekstraksi.

Teknologi instalasi ini berasal dari Jerman, negara yang sudah amat terkenal dalam bidang ekstraksi tanaman obat. Menurut Drs. Herizal Busnamy, Pharm., Senior Product Manager Indofarama, instalasi ekstraksi milik Indofarma merupakan yang terbesar di Asia Tenggara.

“Dengan teknologi baru, sampai saat ini belum ada (perusahaan lain) yang memiliki instalasi ekstraksi khusus seperti ini, selain Indofarma. Dengan instalasi ini nanti kami akan bisa mengekspor (hasilnya) ke mancanegara. Kalau ada yang pesan kumis kucing misalnya, kami akan buatkan ekstrak yang sudah distandarisir,” tambahnya.

Sistemnya sudah terintegrasi, sehingga pengoperasiannya tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Dalam satu shift cuma memerlukan lima orang operator. Pekerjaan fisik cuma terjadi pada saat menuang bahan. Pengoperasiannya di bawah supervisi seorang apoteker.

Masih ekstraksi total

Instalasi ekstraksi terbagi atas empat bagian utama, yakni dua unit ekstraktor, dua unit evaporator, satu unit aroma recovery, dan satu unit retrifikasi. Kapasitas ekstraktornya masing-masing 2.000 l. Namun, sampai saat ini yang dilakukan baru sampai sekitar 50% dari kapasitas produksi.

“Kami bisa mengolah sampai sekitar 140 ton bahan kering tanaman obat per tahun,” jelas James.

Di unit ekstraktor, tanaman obat dari petani binaan, yang telah mengalami penyeleksian, penyucian, pengeringan, dan penggilingan, diekstraksi. Secara sederhana prosesnya kira-kira seperti ketika membuat minuman kopi. Serbuk kopi disedu dengan air panas dan diaduk di dalam cangkir. Ampas akan mengendap dan air kopi berada di atasnya. Air kopi ini yang dinamakan ekstrak. Sementara pada ektraktor serbuk halus tanaman obat dimasukkan ke dalam tabung ekstraktor. Lalu, dicampur dengan pelarut tertentu dalam tabung ekstraktor. Ekstraknya dialirkan ke evaporator dan ampas dari campuran itu diangkat.

Menurut James, yang dilakukan di sini adalah ekstraksi total. Artinya, semua senyawa, yang bisa diikat dengan pelarut tertentu, ditarik. Misalnya, ekstraksi dengan alkohol, maka semua senyawa yang terikat oleh alkohol akan tertarik.

“Dalam konsep kami sebagai produsen herbal product, proses ekstraksi dimaksudkan untuk memperoleh ekstrak di mana zat yang diduga memberi khasiat mencapai kadar optimal, ” ujarnya. “Hasil ekstraksi total bisa dipisahkan lagi melalui ekstraksi parsial untuk memperoleh senyawa tertentu saja. Ekstraksi parsial ini dilakukan tergantung pada kebutuhan. Namun, saat ini tahapan kami masih pada ekstraksi total,” tambahnya.

Pelarutnya bisa digunakan lagi

Pelarut yang digunakan dipilih secara selektif. “Ambillah contoh proses ekstraksi kumis kucing. Karena (senyawa) yang berkhasiat sebagai diuretik larut dalam air, maka pelarut yang digunakan adalah pelarut air. Sementara kunyit (Curcuma domestica) atau temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.) zat warna kuning dan minyak atsirinya larut dalam pelarut organik, maka digunakan pelarut organik seperti alkohol (dengan persentasi tertentu yang menjadi rahasia perusahaan),” jelas apoteker yang memperoleh gelar doktor dari Jerman ini.

Ekstrak tanaman obat yang diperoleh, dialirkan ke instalasi evaporator. Di sini, ekstrak diuapkan sehingga diperoleh ekstrak lebih pekat. Ekstrak tidak langsung diangkat. Pada proses ini sebagian aroma ekstrak ikut terbawa kondensat (uap air atau uap alkohol), sehingga aroma ekstrak kentalnya berkurang banyak. Untuk mengembalikan aroma, kondensat dilewatkan pada unit aroma recovery untuk ditarik kembali aromanya. Aroma ini kemudian dipulangkan kembali pada asalnya, sehingga aroma ekstraknya kembali seperti sebelum diuapkan. Hasil akhir inilah yang diangkat dan kemudian menjadi bahan baku obat herbal.

Di unit retrifikasi, kondensat yang sudah tidak mengandung aroma tanaman dimurnikan kembali sehingga bisa dihasilkan kembali pelarut semula. Kalau pelarutnya alkohol, maka larutan inilah yang dihasilkan dalam retrifikasi.

“Ini merupakan bentuk pekerjaan yang efisien sekali. Kalau tidak ada unit aroma recovery dan retrifikasi, pelarut untuk mengekstraksi bahan tertentu tidak bisa digunakan utuk pelarut bahan lainnya, karena setiap bahan memiliki aroma khas tersendiri. Di sini juga terjadi penghematan biaya produksi, karena kami tidak usah membeli kembali pelarut yang diperlukan,” tutur James.

Rangkaian proses tadi, dari ekstraksi hingga retrifikasi, membutuhkan waktu sekitar 9 jam, tergantung banyaknya bahan yang diolah. Yang terlama adalah proses evaporasi (penguapan ekstrak), yakni 3 – 4 jam. Karena itu, proses ini merupakan botle neck dari keseluruhan proses.

Sampai saat ini hasil ekstraksi sepenuhnya dijadikan bahan baku obat herbal produksi Indofarma. Menurut James, ke depan, produksi ekstrak diharapkan bisa dijual, meskipun sekarang juga sudah banyak yang berminat.

“(Dengan kehadiran pusat ekstraksi) kami berharap pengembangan jamu Indonesia menjadi lebih baik. Karena kalau kita lihat herbal suplement atau food supplement yang ada, semuanya dalam bentuk ekstrak. Keuntungannya, formulasinya akan lebih baik, baik dalam bentuk kapsul atau kaplet. Reproducebility (perbanyakan)-nya juga lebih baik.”

Pasarnya ada, teknologinya pun tersedia, kini kita boleh serius berharap kemajuan industri jamu akhirnya bakal memunculkan juga satu-dua tanaman unggulan Indonesia. (Gde)

Tidak ada komentar: